Sabtu, 14 Agustus 2010

Bagir Manan : Jaksa Agung Seharusnya Berhenti Saat Habis Masa Kabinet

JAKARTA - Mantan Ketua Mahkamah Agung (MA) Bagir Manan mengemukakan, Jaksa Agung seharusnya berhenti saat usia pensiun dan seiring habisnya masa kabinet presiden. Artinya, posisi tersebut terbatas dan sesuai prinsip negara hukum, maka tidak boleh jabatan berdasarkan diskresi, tetapi harus ditafsirkan dengan pasti.

"Menurut saya, kalau jaksa agung sebagai jaksa maka harus berhenti pada usia 62 tahun. Jika sebagai anggota kabinet berhenti bersama kabinet lainnya," ujar Bagir Manan dalam sidang permohonan tafsir terhadap UU Kejaksaan yang diajukan oleh Yusril Ihza Mahendra di gedung Mahkamah Konstitusi (MK), Jalan Medan Merdeka Barat, Jakarta Pusat, Kamis, (12/8/2010).

Pertanyaan selanjutnya, apakah jaksa agung memangku jabatan adsmnistrasi negara atau ketatanegaraan. Menurut Bagir, Kejaksaan Agung adalah badan pemerintahan, maka pimpinannya adalah suatu badan pemerintahan, yaitu kekuasaan eksekutif.

Tapi berdasarkan ajaran mengenai eksekutif, ada dua yaitu jika eksekutif diatur oleh ketatanegaraan, dan eksekutif yang diatur pelaksanaan tugasnya berlaku sebagai pejabat administrasi negara.

"Menurut saya jaksa agung seamata-mata menjalankan fungsi administrasi negara maka harus tunduk pada sistem administrasi negara karenanya harus tunduk UU Kepegawaian," tegasnya.

Pada 6 Juli lalu, tersangka kasus dugaan korupsi Sisminbakum Yusril Ihza Mahendara mendaftarkan uji materi penafsiran UU No 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan ke MK. Menurut Yusril, pasal 19 hingga pasal 22 UU Kejaksaan akan dihubungkan dengan prinsip negara hukum dan kepastian hukum, yang diatur pasal 1 dan pasal 28D ayat (1) UUD 1945.

Gugatan ini diajukan karena Yusril menilai Jaksa Agung Hendarman Supandji tidak sah. Yusril juga menolak untuk menjawab pertanyaan penyidik Kejagung saat pemeriksaan kasus tersebut.

Sedangkan mantan hakim konstitusi Laica Marzuki menilai, jabatan Jaksa Agung Hendarman Supandji yang tak kunjung berakhir telah melukai prinsip kedaulatan rakyat. Seharusnya, jabatan jaksa agung adalah jabatan publik yang tunduk kepada prinsip-pinsip tersebut.

"Adanya jabatan publik yang tak dibatasi yang mengakibatkan orang memegang
jabatan terus menerus, maka mencedaerai kedaulatan rakyat," kata mantan hakim konstitusi Laica Marzuki.

Hal tersebut dinyatakan oleh Laica dalam sidang lanjutan permohonan tafsir terhadap UU Kejaksaan yang diajukan oleh Yusril Ihza Mahendra di gedung Mahkamah Konstitusi (MK), Jalan Medan Merdeka Barat, Jakarta Pusat, Kamis, (12/8/2010).

"Jabatan tetap, tapi yang menjabat, datang dan pergi," tegasnya.

Menurutnya, kedudukan jabatan jaksa agung adalah jabatan publik di bawah presiden sehingga bagian dari kekuasaan pemerintahan. Karena jabatan publik, maka jaksa agung harus absah dan tak boleh cacat hukum.

"Saat ini, menanti Hendarman Supandji yang tak kunjung berhenti, bagaikan novel Waiting For Godot karya Samuel Beckett," tambahnya.

Menurut Laica, Hendarman diangkat berdasarkan Keppres sebagai anggota kabinet dengan kedudukan setingkat menteri negara yang berakhir 20 Oktober 2009 menggantikan Abdulrahman Saleh. Lantas, SBY-Boediono dilantik MPR dan pada hari yang sama membentuk Kabinet Indonesia Bersatu Jilid II.

"Hendarman Supandji tak diangkat lagi berdasarkan Keppres baik sebagai jaksa agung atau setingkat menteri. Hendarman ternyata mewakili jabatan agung secara terus menerus tanpa berakhir," tutupnya.

Yusril Tantang Patrialis

Di luar persidangan, Menteri Hukum dan HAM Patrialis Akbar memberi pernyataan bahwa kedudukan Jaksa Agung Hendarman Supandji adalah sah berdasarkan Keppres 31/P Tahun 2007

Pernyatan itu langsung ditanggapi Yusril Ihza Mahendra dengan mengatakan bahwa mengeluarkan pernyataaan di luar persidangan adalah sesuatu yang tidak berguna. Bahkan hal itu justru mengembalikan persoalan ke debat jalanan.

Daripada berkomentar di luar sidang, mantan Menteri Kehakiman dan HAM ini, menantang politisi Partai Amanat Nasional (PAN) itu berdebat di Mahkamah Konstitusi (MK), tempatnya mengajukan judicial review UU No 16/2004 Tentang Kejaksaan untuk menguji keabsahan Hendarman saat ini.

"Sebaiknya Patrialis menyatakan pendapatnya itu di sidang MK, agar dia bisa mendebat saya, mantan Ketua Mahkamah Agung Prof Dr Bagir Manan dan mantan Wakil Ketua Mahkamah Konstitusi Prof Dr Laica Marzuki. Semua yang dikatakan Patrialis itu sudah kami patahkan di sidang MK," kata Yusril, Sabtu (14/8/2010).

Menurut Yusril, beberapa hakim MK juga mempertanyakan Keppres 31/P Tahun 2007 yang merujuk pada Keppres 187/M Tahun 1987 tentang pembentukan kabinet Indonesia. Dalam Keppres itu dinyatakan bahwa Hendarman diangkat menjadi Jaksa Agung dalam Kabinet Indonesia Bersatu (KIB).

"Sementara kabinet itu sudah dibubarkan Presiden SBY tanggal 20 Oktober 2009. Mana mungkin kabinet bubar, semua anggotanya bubar, sementara Hendarman tidak?" tanyanya.

Yusril melanjutkan, pemerintahan sekarang ini berbeda dengan yang dulu, sekalipun presidennya tidak berbeda. Karena itu, tidak bisa menyatakan jaksa agung sekarang ini sah karena presidennya sama. Ia mengatakan Presiden SBY sebenarnya sudah salah dari awal, yakni ketika mengumumkan anggota kabinet tanggal 21 Oktober 2009.

Profesor hukum tata negara ini mengatakan, presiden belum mengganti Panglima TNI dan Kapolri benar pada saat itu, karena keduanya bukan anggota kabinet. Pengangkatan dan pemberhentian mereka juga memerlukan persetujuan DPR. Namun, sebagaimana disebut dalam Keppres 31/P Th 2007, Hendarman tegas disebutkan sebagai anggota kabinet.

"Hendarman dilantik menjadi Jaksa Agung KIB I dengan kedudukan setingkat menteri negara. Sekarang ini sudah zaman KIB II. Mana bisa pejabat yang diangkat untuk KIB I malah masih menjabat sementara zamannya sudah KIB II?" cetusnya.

Yusril juga mengaku heran dengan pernyataan Patrialis yang mengklaim mendapat kuasa dari SBY untuk berbicara. Kuasa presiden dalam pengertiannya adalah agar Patrialis tampil di MK sebagai kuasa hukum Presiden. Namun, alih-alih datang ke MK, Patrialis justru memberi kuasa substitusi kepada bawahannya.

"Patrialis telah melecehkan Presiden SBY dengan sikapnya itu. Disuruh mewakili ke MK tidak nongol, malah mengeluarkan statemen di luar sidang, yang takkan didengar majelis hakim MK. Saya membawa masalah ini ke MK kan ada riwayatnya, karena Hendarman menantang debat di pengadilan biar ada wasitnya, supaya tidak debat di jalanan," tutup Yusril.(ar/sumber:detikcom)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar