Sabtu, 05 Juni 2010

Anggota DPR Dari Golkar "Ngotot" Minta Kucuran Dana Aspirasi 15 M

Oleh: Aris Kuncoro (dari berbagai sumber)

JAKARTA—Permintaan atau usulan dana aspirasi sebesar Rp 15 Miliar per tahun bagi setiap anggota DPR yang diajukan oleh Fraksi Partai Golkar menimbulkan kontroversi di masyarakat. Banyak yang menilai hal itu sebagai bentuk perampokan uang Negara.

"Kalau menurut saya dana aspirasi sebesar Rp 15 miliar itu bentuk perampokan uang negara. Karena DPR kan badan legislatif, bukan badan eksekutif. Kenapa mesti bawa anggaran?" kata pengamat politik dari UI, Arbi Sanit.

Tapi, untungnya usulan dari Partai Golkar itu, tidak mendapat respon positip dari pemerintah. Pemerintah, melalui Menko Perekonomian Hatta Rajasa, menegaskan, dana aspirasi dipandang tak perlu "diguyurkan".

"Tak ada satu pun daerah yang tidak kebagian APBN. Jadi, dana aspirasi seperti itu sama sekali tidak perlu. Seluruh program ada pembagian anggarannya dan meliputi seluruh daerah," kata Hatta Rajasa di Jakarta, Jumat (4/6/2010) kemarin.

Secara terpisah, Menteri Keuangan Agus DW Martowardojo juga mengingatkan, keterwakilan daerah tidak hanya oleh DPR, tetapi juga DPD dan DPRD, provinsi ataupun kabupaten/kota. Keterwakilan anggota DPR di setiap daerah pemilihan (dapil) didasarkan atas jumlah penduduknya.

Daerah dengan jumlah penduduk yang padat akan merepresentasikan jumlah anggota DPR yang lebih banyak dan anggarannya lebih besar. Jawa dan Bali dengan jumlah warga yang lebih banyak mendapatkan alokasi dana yang lebih besar daripada dapil lain. Jika dana aspirasi disetujui, kawasan Indonesia bagian barat akan memperoleh dana lebih besar dibandingkan dengan Indonesia bagian timur.

Selain itu, daerah dengan kapasitas fiskal yang kaya-raya akan mendapatkan dana aspirasi yang lebih tinggi dibandingkan dengan daerah yang memiliki kapasitas keuangan rendah. Atas dasar itu, usulan dana aspirasi tidak akan menyelesaikan masalah ketidakseimbangan fiskal antardaerah.

"Usulan itu juga menimbulkan inefisiensi dalam penggunaan dana karena peruntukannya ditentukan anggota DPR dan bukan pemerintah daerah. Aspek kesetaraan dan keadilan tak akan terpenuhi karena daerah dengan kapasitas keuangan tinggi justru mendapatkan alokasi," katanya.

Agus Martowardojo menuturkan, pemberian dana aspirasi juga berpotensi melanggar sejumlah undang-undang, berpotensi melanggar prinsip pembagian tugas dan wewenang antara lembaga eksekutif dan legislatif. Selain itu, juga berpotensi kurang sejalan dengan prinsip otonomi daerah dan desentralisasi fiskal.

"Dana aspirasi juga berpotensi menimbulkan komplikasi pengalokasian dana dan akan menimbulkan masalah administrasi di masing-masing APBD, kerumitan pada perencanaan dan implementasi, serta bermasalah dalam pertanggungjawabannya," papar Menkeu lagi.

Tapi, tampaknya kendati mendapat banyak penolakan dari berbagai pihak, anggota DPR dari Partai Golakr terus ngotot untuk menggolkan usulan soal dana aspirasi itu.

Harry Azhar Azis anggota Fraksi Partai Golkar yang juga Ketua Badan Anggaran DPR mengatakan, dari komunikasi dengan Menteri Keuangan Agus Martowardojo, belum ada keputusan final pemerintah untuk menolak gagasan yang diusung Fraksi Partai Golkar itu.

"Ini bukan ide baru. Menkeu pada rapat paripurna 1 Juni mengatakan ada potensi pelanggaran. Ketika saya tanya, kata beliau, bukan pendapat final pemerintah. Tidak bisa juga ditunjukkan pasal dari UU mana yang dilanggar," kata Harry dalam diskusi mingguan radio Trijaya, "Kontroversi Dana Aspirasi", di Jakarta, Sabtu (5/6/2010).

Menurut Harry, dalam pembicaraan di Badan Anggaran, tak ada penolakan dari semua fraksi. Bahkan, sebelum gagasan ini digulirkan, Harry mengatakan, Fraksi PPP sudah pernah mengusulkan dana aspirasi sebesar Rp 10 miliar.

"Dalam pembicaraan yang tidak resmi, beberapa fraksi ada yang menyebut angka sampai Rp 25 miliar. Kami melihat bahwa dasar hukum yang kita gunakan adalah Pasal 15 Ayat 3 UU Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara. Intinya, DPR bisa mengajukan usul perubahan penerimaan dan pengeluaran RUU APBN," ujarnya.

Oleh karena itu, rencana suntikan dana bagi anggota Dewan ini akan dibahas di Panja Badan Anggaran selama sepekan ke depan, 8-13 Juni 2010.

Menurut Harry, ada empat tema pokok yang akan dibahas, yaitu dasar hukum gagasan dana aspirasi, mekanisme dan prosedur, pola implementasi, serta manfaat program.
Partai Golkar tampaknya memang tetap tak akan mundur dengan usulannya itu. Golkar malah akan mengajak partai lain di dalam Setgab Koalisi untuk berdiskusi lebih jauh soal usulan Golkar ini.

"Kami tidak menganggap respon negatif, kita akan ajak teman-teman berdiskusi terbuka. Ini pertimbangan geopolitik yang penting," ujar Sekjen Golkar Idrus Marham kepada wartawan di Gedung DPR, Senayan, Jakarta, Kamis (3/6/2010).

Menurut dia, partainya siap menjelaskan kepada partai sahabat Golkar di Setgab Koalisi bahwa tujuan penggunaan anggaran sangat positif. Anggaran digunakan untuk membantu pemerintah meratakan pembangunan.

Idrus menjanjikan realisasi usulan tersebut akan dijaga ketat sehingga tidak akan ada manipulasi. "Kita jaga sama-sama. Sekarang semua harus transparan kan, masyarakat juga pasti tahu kalau ada kebocoran," jelas Idrus.

Saat ditanya soal kemungkinan penolakan juga di Setgab Koalisi, Golkar merasa tidak masalah. "Tidak masalah sekalipun Setgab berbeda pandangan," tegasnya.


Setgab Koalisi Tak Sepakat


Usulan dana aspirasi, atau juga disebut dana lokasi dapil, itu dibahas pula dalam rapat Sekretariat Gabungan (Setgab) Koalisi Partai Pendukung Pemerintahan. Tapi, tidak semua partai politik sepakat.

Dalam rapat itu, Partai Persatuan Pembangunan (PPP) mengusulkan nilai dana alokasi dapil itu cukup Rp 10 miliar per anggota DPR. Partai Golkar tetap mengusulkan Rp 15 miliar.

Sebaliknya, Partai Keadilan Sejahtera (PKS) dan Partai Amanat Nasional (PAN) berpandangan berbeda. Kedua partai itu tidak setuju dengan penerapan dana alokasi dapil. "Pemerintah sudah punya rencana pembangunan. Biarlah pemerintah yang melaksanakannya," kata Ketua Fraksi PAN DPR Asman Abnur.

Sedangkan Sekjen PKS Anis Matta berpendapat, dana alokasi dapil justru akan merusak rencana pembangunan nasional. Ketimpangan akan makin tajam karena sebagian besar dana akan terkonsentrasi di Jawa sebab mayoritas anggota DPR berasal dari Jawa.


Partai Demokrat Menimbang-nimbang

Partai Demokrat membantah adanya kesepakatan di Setgab terkait anggaran Rp 15 miliar per dapil. PD sedang mengkaji usul Golkar tersebut belum mengambil keputusan.

"DPP PD sedang mengkaji manfaat dan mudaratnya," tegas Ketua Umum PD Anas Urbaningrum kepada wartawan, Jumat (4/6/2010).

Anas menyampaikan, PD akan mempertimbangkan matang-matang sebelum mengambil sikap di setgab. Sebab anggaran Rp 15 miliar per dapil tak bisa dianggap sedikit.

"Mengapa? Karena hal tersebut menyangkut anggaran negara yang cukup besar yang harus digunakan dengan asas manfaat bagi rakyat dan akuntabilitas yang tinggi," jelasnya.

Ketua DPR Marzuki Alie juga tidak setuju dengan usulan Golkar soal anggaran Rp 15 miliar untuk dibagi-bagikan per dapil. Marzuki tidak ingin rakyat menyebut DPR sebagai perampok jika menyetujui usulan Golkar ini.

"Itu menunjukkan anggota dewan sebagai bentuk mewakili rakyatnya, kalau pulang daerah itu kongkrit isinya. Yang sekarang muncul, uang Rp 15 miliar dipegang dibawa ke daerah itu ngerampok negara namanya," tegas Marzuki.

Bagaimana sikap PKB?

"Secara prinsip akan dilihat dalam postur APBN seperti apa. Yang pasti tujuannya baik," tutur Ketua Fraksi Marwan Djafar ketika dihubungi wartawan, Jumat (4/6/2010).

Lebih lanjut Marwan menuturkan bila putusan setgab tidak bisa menjadi putusan akhir. "Menyetujui setgab tidak bisa. Kalaupun disetujui ini baru wacana. Besarannya tidak mesti Rp 15 M bisa juga kurang," ujarnya.

Sementara itu, Sekjen PKB Lukman Edy menyatakan bila nanti terealisasi, respons publik harus diperhatikan.

"Respons publik perlu diperhatikan. Pelaksanaanya harus super ekstra diawasi. Respon masyarakat tidak begitu baik soal ini," tandasnya.

Sejumlah pihak yang tidak setuju dengan usulan Partai Golkar itu adalah ICW. Malah ICW curiga, pemberian uang itu bukan untuk mensejahterakan konstituen tetapi menjadi ajang money politic.

"Bisa saja lari ke parpol atau digunakan untuk mengawal loyalitas konstituen dengan melakukan politik uang," kata Wakil Koodinator Indonesian Corruption Watch (ICW) Adnan Topan Husodo, Kamis (3/6/2010).

Diakui Adnan, kalau mencontoh di luar negeri semisal di Afrika Selatan, jenis pemberian uang seperti ini memang ada, tetapi pelaksanaannya sudah sesuai, di mana kondisi masyarakat dan wakil rakyat sudah seimbang.

"Belum tepat untuk di Indonesia. Prasyarat akuntabiltas dan bagaimana relasi konstituen dengan anggota DPR, kalau posisinya sudah seimbang tidak mengapa," jelasnya.

Menurut dia, saat ini pengucuran anggaran itu justru akan berpotensi rawan penyimpangan atau manipulasi. "Coba lihat sekarang, ini kan lagi berlaku dana reses, ini saja banyak penyimpangan," tutupnya.


Sementara itu Sekjen PDIP Tjahjo Kumolo menegaskan sikap partainya yang menolak usulan Golkar terkait pengucuran anggaran Rp 15 miliar per dapil dari APBN. PDIP menilai peran DPR hanya menyampaikan aspirasi daerah bukan mengirim dana segar ke daerah.

"Kalau bentuk paket cash Rp 15 miliar sebagaimana usulan, PDIP tidak setuju," tegas Tjahjo kepada detikcom di Gedung DPR, Senayan, Jakarta, Kamis (3/6/2010).

Menurut dia, posisi DPR hanya menganggarkan untuk program. Dengan posisi ini DPR hanya boleh menganggarkan sesuai aspirasi daerah. "Anggota DPR membawa aspirasi pembangunan dapilnya saja, untuk diperjuangkan di DPR," jelas Tjahjo.

Ketua FPDIP ini menilai tambahan dana pembangunan daerah dipandang perlu karena kerja pembangunan pemerintah tidak optimal.

"Usulan program daerah yang masuk ke Bappenas realisasinya tidak pernah optimal. Sehingga anggota DPR memperjuangkan aspirasi, jumlah anggarannya sesuai kebutuhan daerah," tegasnya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar